BAB I
PENDAHULUAN
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa
falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu
sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu
tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis
tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan. Filsafat Pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu
persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari
semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun
mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada
pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang
masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada
bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas
yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang
lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam
sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan
dan kemajuan peradaban manusia. Karena disadari atau tidak, sesungguhnya
manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan
yang disebut dunia, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan
formal, maka sesungguhnya merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di
dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang
pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang
tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang
akan mendidiknya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI SINGKAT IBNU KHALDUN
Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibnu
Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual, dan aristokrat.
Suatu latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya, sebelum
menyeberang ke Afrika, adalah para pemimpin politik di Moorish, Spanyol, selama
beberapa abad.[1]
Dalam keluarga elit semacam inilah ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di
Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn
Khaldun. Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani
hidupnya nampaknya merupakan faktor yang menentukan perkembangan pemikirannya.
Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual kedalam dirinya, sedangkan
masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunya dinasti – dinasti Islam,
terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori –
teori ilmu sosial serta filsafatnya. Bisa dikatakan Ibnu Khaldun adalah seorang yang nomaden karena sering
kali berpindah – pindah tempat, mulai dari Afrika, Granada, Aljazair,
Maroko,Tunisia, dan yang terakhir adalah Mesir. Bukan tanpa alasan Ibnu Khaldun
ber nomaden, itu disebabkan karena banyak konflik ketika dia menjabat sebagai
tokoh – tokoh penting disetiap negara itu. Ketenangan hidup baru ia jumpai
setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan
karyanya yang monumental, yaitu Muqaddama
Al Alamat dan Sejarah Alam Semesta
setelah ia kembali dari Tunisia. Ketika di Mesir, Ibnu Khaldun ditawari jabatan
guru dan ketua Mahkamah Agung oleh raja Mesir. Meskipun selanjutnya mendapatkan
masalah – masalah seperti sebelum – sebelumnya. Yang pada akhirnya Ibnu Khaldun
mampu mengatasinya dan terus menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung di Mesir.[2]
Ibnu Khaldun meninggal pada tahun 1406 M dalam usia 74 tahun bersama jabatan
yang dipegannya.[3]
Kini Ibnu Khaldun selain dikenal sebagai filosof, juga sebagai sosiolog yang
memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Hal ini antara lain terlihat dari
pengalamannya sebagai guru yang berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat
yang lain.
B. PEMIKIRAN
IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN.
a.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut
Ibnu Khaldun
Pada
bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan.
Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari
Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas
yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek
pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala
konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam
tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan
gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.[4] Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu
Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan
gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: Barangsiapa
tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya
barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan
bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan
tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan
bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan
mengajarkannya. [5]
Dari
pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai
pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar
mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu
proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati
peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.[6] Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara
esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu
pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis
binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal
pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat
kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan
membedakan. Selain itu Ibnu
Khaldun juda memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk
lainny. Manusia kata Ibnu Khaldun adalah makhluk berfikir. Oleh karena itu ia
mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan tekhnologi.[7] Sebelum
pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya
berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa
mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan
dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak
mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu
pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri.
Setelah
manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan
mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari
pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian
manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin
mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu
atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat
kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang
dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga
pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya
menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik
untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu
pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban
manusia. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam
Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi
dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di
dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya
dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan
menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1.
Menyiapkan seseorang dari segi
keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur'n dan
Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana
dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan
menjadi fithrah.
2.
Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat
pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk
kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3.
Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan
atau sosial.
4.
Menyiapkan seseorang dari segi
vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan
sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya
termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5.
Menyiapkan seseorang dari segi
pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan
atau ketrampilan tertentu.
6.
Menyiapkan seseorang dari segi kesenian,
di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya
bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan
keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan
dicapai dalam pemnbahasan
terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau
sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab
tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas
yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin
dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan,
pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran
serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk
mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam
pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan
kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat
rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia
mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib,
bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada
mempelajari al-Qur'an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang
Andalusia, mereka menjadikan al-Qur'an sebagai dasar dalam pengajarannya,
karena al-Qur'an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan.
Sehingga mereka tidak membaertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada
masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang
dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas
atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid
dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah
mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok
yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan,
maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana
terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid,
ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil
proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur'an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur'an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur'an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur'an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur'an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur'an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur'an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur'an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur'an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur'an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur'an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur'an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur'an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur'an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur'an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur'an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun
pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah
satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu
itu menjadi dua macam yaitu:
1.
Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu
naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadits yang dalam hal ini
peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama,
karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari'at yang diambil
dari al-Qur'an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu
antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh,
ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta'bir mimpi.
2.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional
(Aqliyah)
Ilmu
ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk
berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada
sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun
ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu
metafisika dan Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan
tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan
ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian,
maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik
menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan
dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
·
Ilmu agama (syari'at), yang terdiri dari
tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
·
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri
dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika).
·
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
agama (syari'at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu
lain yang membantu mempelajari agama.
·
Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu
filsafat, yaitu logika.
Menurut
Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu
pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan
kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk
mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun
tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu
syari'at (agama) dan ilmu Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu
agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi
anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga
meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu
agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya
dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana
dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan
baik.
3.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode
Pendidikan
Pandangan
Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada
buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam
dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah
diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode
mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh
anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku
Muqaddimahnya. Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan
langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama:
Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan
problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan
kemampuan akal anak didik. Kedua:
Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi
baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik
menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan
menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar
anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
Demikian
itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena
dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan
mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan
berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak
didik berfikir reflektif dan inovatif.
Lain
halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik
kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di
atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini
proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat
ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu
Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala,
melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya
belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat
memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan
berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham erhadap apa yang
dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang
berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu
pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, aka dapat kita
tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang
memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan,
berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak
pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.
BAB
III
KESIMPULAN
Mengakhiri
tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada
beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Yakni bahwa sebagai ilmuan yang
juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran - pemikiran
tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan
yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode,
materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji
dan dicermati.
Walaupun
di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun
hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya
terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan
pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan
bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan,
akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan
karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia.
Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup
bermasyarakat.
Sementara
itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat
bagi keberhasilan suatu pendidikan. Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun
adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahankemudahan
bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat
manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat
perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abuddin Nata, Drs. H, Filsafat
Penddikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Ø Akhmad,
K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Ø Ali
Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat
dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 2000.
Ø Ali,
A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul
Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 2005.
Ø Noer, Deliar, Gerakan
Modern Islam di Indonesia 1990 - 1942, Jakarta: LP3ES cet-3, 1985.
Tugas ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Abu Choir, MA
Disusun Oleh :
1. Indra Kurniawan 26.10.3.4.025
2. Sri Rahayu 26.10.3.4.025
3. Vitara Aprilia 26.10.3.4.025
4. Irawati
113.112.009
5. Prapti 113.112.009
FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar