Rabu, 14 Maret 2012

Filsafat Pra Sokrates


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Jikalau seseorang membaca suatu buku filsafat ilmu pengetahuan, maka substansi yang ingin dipahami adalah apa pengertian ilmu pengetahuan, atau secara sederhana apa yang dimaksud dengan hakikat ilmu pengetahuan. Filsafat merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, tanpa kita sadari telah melakukan proses berfikir dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi manusia itu sendiri, karena manusia selalu ingin tahu dan mencari jawaban atas masalahnya. Filsafat itu sendiri adalah sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia. Descartes (1590 –1650). Pentingnya filsafat dalam kehidupan manusia bertujuan untuk mengembalikan nilai luhur suatu ilmu agar tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Kajian filsafat terdiri dari Ontologi, Epistemilogy, dan Aksiology; Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Epistemology merupakan cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia dan epistemology juga mencakup satu bidang saja yang disebut epistemologi, yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat, dan ini berlaku bagi setiap cabang filsafat.
Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu aksiologi, yang membicarakan guna pengetahuan filsafat, dan ini berlaku bagi semua cabang filsafat. Pembahasan yang akan dikaji dalam makalah ini adalah ontology yaitu salah satu factor penting dalam filsafat


B. Sejarah Lahirnya Filsafat  
            Sejarah awal munculnya pemikira filsafat tidak bisa dilepaskan dengan kebudayaan dan peradaban Yunani. Dinegara itulah filsafat lahir dan berkembang hingga mencengangkan peradaban dunia lain hingga abad ini. Peradaba Unani bisa dikatakan sukses menginspirasi peradaban lain untu merebut peran perubahan ke arah gerakan pencerahan dan membangun peradaban yang agung dan luhur. Peristiwa munculnya filsafat di Yunani terbilang peristiwa unik dan ajaib. Dalam banyak literatur filsafat mutakhir, klasifikasi tahap sejarah filsafat Barat dibagi menjadi empat tahap penting, yaitu Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer. Di era filsafat klasik, pemikiran filsafat dibagi menjadi dua zaman yakni: pra-socrates dan zaman keemasan.
[1]

            a.  Pra-Socrates: Filsafat Alam
            Pemikiran filsafat Yunani awal sering disebut sebagai flsafat alam. Tipe filsafat alam ini disebut sebagai filsafat pra-socrates. Sebab, karakter pemikiran filsafat ini berbeda dengan pemikiran filsafat zaman socrates dan berikutnya. 
Thales adalah seorang filsuf yang mengawali sejarah filsafat Barat pada abad ke-6 SM. Sebelum Thales, pemikiran Yunan dikuasai cara berpikir mitologis dalam menjelaskan segala sesuatu. Pemikiran Thales dianggap sebagai kegiatan berfilsafat pertama karena mencoba menjelaskan dunia dan gejala-gejala di dalamnya tanpa bersandar pada mitos melainkan pada rasio manusia. Ia juga dikenal sebagai salah seorang dari Tujuh Orang Bijaksana (dalam bahasa Yunani hoi hepta sophoi), yang oleh Aristoteles diberi gelar ‘filsuf yang pertama’. Selain sebagai filsuf, Thales juga dikenal sebagai ahli geometri, astronomi, dan politik. Bersama dengan Anaximandros dan Anaximenes, Thales digolongkan ke dalam Mazhab Miletos.[2]
Thales tidak meninggalkan bukti-bukti tertulis mengenai pemikiran filsafatnya. Pemikiran Thales terutama didapatkan melalui tulisan Aristoteles tentang dirinya. Aristoteles mengatakan bahwa Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula terjadinya alam semesta. Karena itulah, Thales juga dianggap sebagai perintis filsafat alam (natural philosophy).
Thales (624-546 SM) lahir di kota Miletos yang merupakan tanah perantauan orang-orang Yunani di Asia Kecil. Situasi Miletos yang makmur memungkinkan orang-orang di sana untuk mengisi waktu dengan berdiskusi dan berpikir tentang segala sesuatu. Hal itu merupakan awal dari kegiatan berfilsafat sehingga tidak mengherankan bahwa para filsuf Yunani pertama lahir di tempat ini. Thales adalah seorang saudagar yang sering berlayar ke Mesir. Di Mesir, Thales mempelajari ilmu ukur dan membawanya ke Yunani. Ia dikatakan dapat mengukur piramida dari bayangannya saja. Selain itu, ia juga dapat mengukur jauhnya kapal di laut dari pantai. Kemudian Thales menjadi terkenal setelah berhail memprediksi terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei tahun 585 SM. Thales dapat melakukan prediksi tersebut karena ia mempelajari catatan-catatan astronomis yang tersimpan di Babilonia sejak 747 SM.
            Di dalam bidang politik, Thales pernah menjadi penasihat militer dan teknik dari Raja Krosus di Lydia. Selain itu, ia juga pernah menjadi penasihat politik bagi dua belas kota Iona.
Pemikiran Filsafat Thales:
a. Air sebagai Prinsip Dasar Segala Sesuatu
                        Thales menyatakan bahwa air adalah prinsip dasar (dalam bahasa Yunani arche)     segala sesuatu. Air menjadi pangkal, pokok, dan dasar dari segala-galanya yang ada di             alam semesta. Berkat kekuatan dan daya kreatifnya sendiri, tanpa ada sebab-sebab di           luar dirinya, air mampu tampil dalam segala bentuk, bersifat mantap, dan tak         terbinasakan. Argumentasi Thales terhadap pandangan tersebut adalah bagaimana       bahan makanan semua makhluk hidup mengandung air dan bagaimana semua         makhluk hidup juga memerlukan air untuk hidup. Selain itu, air adalah zat yang dapat          berubah-ubah bentuk (padat, cair, dan gas) tanpa menjadi berkurang.
            b. Pandangan tentang Jiwa
Thales berpendapat bahwa segala sesuatu di jagat raya memiliki jiwa. Jiwa tidak hanya terdapat di dalam benda hidup tetapi juga benda mati.Teori tentang materi yang berjiwa ini disebut hylezoisme. Argumentasi Thales didasarkan pada magnet yang dikatakan memiliki jiwa karena mampu menggerakkan besi.
c. Pandangan Politik
                Berdasarkan catatan Herodotus, Thales pernah memberikan nasihat kepada orang-orang Ionia yang sedang terancam oleh serangan dari Kerajaan Persia pada pertengahan abad ke-6 SM. Thales menyarankan orang-orang Ionia untuk membentuk pusat pemerintahan dan administrasi bersama di kota Teos yang memiliki posisi sentral di seluruh Ionia. Di dalam sistem tersebut, kota-kota lain di Ionia dapat dianggap seperti distrik dari keseluruhan sistem pemerintahan Ionia. Dengan demikian, Ionia telah menjadi sebuah polis yang bersatu dan tersentralisasi
d. Teorema Thales
            Di dalam geometri, Thales dikenal karena menyumbangkan apa yang disebut teorema Thales, kendati belum tentu seluruhnya merupakan buah pikiran aslinya. Teorema Thales berisi sebagai berikut:
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/44/Thales%27_Theorem_Simple.svg/100px-Thales%27_Theorem_Simple.svg.png
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d5/Thales_theorem_1.png/200px-Thales_theorem_1.pngJika AC adalah sebuah diameter, maka sudut B adalah selalu sudut siku-siku
Teorema Thales : \textstyle \frac{DE}{BC} = \frac{AE}{AC } = \frac{AD}{AB}
·         1. Sebuah lingkaran terbagi dua sama besar oleh diameternya.
·         2. Sudut bagian dasar dari sebuah segitiga samakaki adalah sama besar.
·         3. Jika ada dua garis lurus bersilangan, maka besar kedua sudut yang saling berlawanan akan sama.
·         4. Sudut yang terdapat di dalam setengah lingkaran adalah sudut siku-siku.
·         5. Sebuah segitiga terbentuk bila bagian dasarnya serta sudut-sudut yang bersinggungan dengan bagian dasar tersebut telah ditentukan.


http://thebiografis.files.wordpress.com/2010/08/anax1.jpg?w=80&h=109Anaximandros adalah murid Thales. Masa hidupnya disebut orang dari Tahun 610 – 547 sebelum Masehi. Ia lima belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi meninggal dua tahun lebih dahulu. Sebagai seorang filosof ia lebih besar daripada gurunya. Ia juga ahli astronomi dan ahli ilmu bumi. Ia konon adalah orang pertama yang membuat peta.
            Pemikiran Anaximandros :
a.      Filsafat :
Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sedangkan mengenai kehidupan bahwa semua makhluk hidup berasal dari air dan bentuk hidup yang pertama adalah ikan. Dan manusia pertama tumbuh dalam perut ikan.[3]
b.      Bidang Astronomi
Menurutnya, dunia kita terletak di tengah- tengah alam semesta ini: berbentuk seperti silinder, di sekitarnya ada lingkaran- lingkarang cincin (berwujud seperti selang) yang penuh berisi api, dan selang- selang itu berlobang-lobang. Lewat lobang inilah kita bisa melihat api di dalam cincin-cincin tersebut. Itu makanya, bintang-bintang, bulan, matahari adalah “lobang lewat mana” kita bisa mengetahui adanya cincin-cincin di langit itu. Yang terpenting dari sistem yang diajukan Anaximandros ini adalah simetri yang ia ajukan: meskipun fenomen di langit tampak tak beraturan, ia menemukan adanya keteraturan. Dan lebih dari itu, simetri itu mengijinkan dirinya menyatakan bahwa dunia kita “tidak bergerak”.
Anaximandros berpendapat bahwa bumi kita tepat berada di tengah-tengah sehingga tidak ada satu alasanpun untuk menjelaskan mengapa ia bergerak ke satu titik daripada titik lainnya. Sama seperti seekor keledai yang berada di antara 2 gundukan jerami di arah berlawanan dengan jarak yang sama, ia akan berhenti, dan mati kelaparan karena tidak pernah memilih arah mana yang mau diambil.
Kematian keledai dan immobilitas bumi kita diterangkan dengan sebuah prinsip yang sekarang kita kenal sebagai  prinsip kecukupan rasio (principe of sufficient reason) :
- Jika tidak ada alasan bahwa X muncul (terjadi) daripada Y (jika tidak ada alasan aku mengambil jalan lurus atau mengambil putaran di depan)
- Jika tidak mungkin bahwa X dan Y muncul (terjadi) bersama-sama (jika tidak mungkin untuk berjalan lurus dan berbelok sekaligus)
- Maka kesimpulannya: baik X maupun Y tidak ada (maka aku tdk jalan lurus dan tidak berbelok, aku diam!)
Prinsip abstrak ini yang kemudian diterapkan Anaximandros kepada astronomi untuk mengatakan bahwa bumi kita diam.
c.       Asal Mula Manusia
Anaximandros mengatakan bahwa tidak mungkin manusia pertama timbul dari air dalam rupa anak bayi. Orang sering mengatakan bahwa Anaximandros menjadi pendahulu teori evolusi spesies-spesies . Berhadapan dengan ragam kehidupan di dunia, ia mencoba mencari dari mana asal-usul semuanya, dan terutama dari mana manusia muncul. Barangkali, karena pengaruh gurunya, Thales, yang mengusulkan physis air sebagai dasar kehidupan, ia lalu mengusulkan bahwa asal-usul mereka adalah  daerah lembab . Lalu bagaimana bisa muncul kuda, kambing, yang semuanya tidak terlalu dekat hidupnya dengan hal-hal lembab ? Maka dibuatlah spekulasi bahwa dulu-dulunya semua berasal dari ikan atau semacam ikan yang dilindungi oleh cangkang. Kemudian tentang manusia,  manusia adalah satu-satunya binatang yang menyusui dalam periode lama untuk akhirnya bisa makan sendiri. Jika demikian, maka manusia pertama pasti tidak demikian, karena jika begitu ia akan cepat mati. Maka diusulkan bahwa manusia pertama dikandung cukup lama dalam binantang semacam ikan, sampai kemudian keluar darinya. Dan baru setelah itu ia bisa berkembang biak sendiri.[4]

http://thebiografis.files.wordpress.com/2010/08/mns.jpg?w=97&h=1183. Anaximenes (545-528 SM)
Anaximenes adalah seorang filsuf yang berasal dari kota Miletos, sama seperti Thales dan Anaximandros. Anaximenes hidup sezaman dengan kedua filsuf tersebut, kendati ia lebih muda dari Anaximandros. Ia disebut di dalam tradisi filsafat Barat, bersama dengan Thales dan Anaximandros, sebagai anggota Mazhab Miletos. Anaximenes adalah teman, murid, dan pengganti dari Anaximandros. Sebagaimana kedua filsuf Miletos yang lain, ia berbicara tentang filsafat alam, yakni apa yang menjadi prinsip dasar (arche) segala sesuatu.
            Tentang riwayat hidupnya, tidak banyak yang diketahui. Anaximenes mulai terkenal sekitar tahun 545 SM, sedangkan tahun kematiannya diperkirakan sekitar tahun 528/526 SM. Ia diketahui lebih muda dari Anaximandros. Ia menulis satu buku, dan dari buku tersebut hanya satu fragmen yang masih tersimpan hingga kini.
Pemikiran Filsafat Anaximanes :
a.      Filsafat
Anaximanes berpendapat, bumi (yang berupa meja bundar) melayang di atas udara. Demikian pula matahari, bulan, dan bintang-bintang, laksana sehelai daun. Badan-badan jagat raya itu tidak terbenam di bawah buni, tetapi mengelilingi bumi yang datar itu. Matahari lenyap pada waktu malam, karena tertutup di belakang bagian-bagian tinggi.[5]
Salah satu kesulitan untuk menerima filsafat Anaximandros tentang to apeiron yang metafisik adalah bagaimana menjelaskan hubungan saling mempengaruhi antara yang metafisik dengan yang fisik. Karena itulah, Anaximenes tidak lagi melihat sesuatu yang metafisik sebagai prinsip dasar segala sesuatu, melainkan kembali pada zat yang bersifat fisik yakni udara. Tidak seperti air yang tidak terdapat di api (pemikiran Thales), udara merupakan zat yang terdapat di dalam semua hal, baik air, api, manusia, maupun segala sesuatu. Karena itu, Anaximenes berpendapat bahwa udara adalah prinsip dasar segala sesuatu. Udara adalah zat yang menyebabkan seluruh benda muncul, telah muncul, atau akan muncul sebagai bentuk lain. Perubahan-perubahan tersebut berproses dengan prinsip “pemadatan dan pengenceran” (condensation and rarefaction. Bila udara bertambah kepadatannya maka muncullah berturut-turut angin, air, tanah, dan kemudian batu. Sebaliknya, bila udara mengalami pengenceran, maka yang timbul adalah api. Proses pemadatan dan pengenceran tersebut meliputi seluruh kejadian alam, sebagaimana air dapat berubah menjadi es dan uap, dan bagaimana seluruh substansi lain dibentuk dari kombinasi perubahan udara.
b.      Tentang Alam Semesta
Pembentukan alam semesta menurut Anaximenes adalah dari proses pemadatan dan pengenceran udara yang membentuk air, tanah, batu, dan sebagainya. Bumi, menurut Anaximenes, berbentuk datar, luas, dan tipis, hampir seperti sebuah meja. Bumi dikatakan melayang di udara sebagaimana daun melayang di udara. Benda-benda langit seperti bulan, bintang, dan matahari juga melayang di udara dan mengelilingi bumi. Benda-benda langit tersebut merupakan api yang berada di langit, yang muncul karena pernapasan basah dari bumi. Bintang-bintang tidak memproduksi panas karena jaraknya yang jauh dari bumi. Ketika bintang, bulan, dan matahari tidak terlihat pada waktu malam, itu disebabkan mereka tersembunyi di belakang bagian-bagian tinggi dari bumi ketika mereka mengitari bumi. Kemudian awan-awan, hujan, salju, dan fenomena alam lainnya terjadi karena pemadatan udara.
c.       Tentang Jiwa
Jiwa manusia dipandang sebagai kumpulan udara saja. Buktinya, manusia perlu bernafas untuk mempertahankan hidupnya. Jiwa adalah yang mengontrol tubuh dan menjaga segala sesuatu pada tubuh manusia bergerak sesuai dengan yang seharusnya. Karena itu, untuk menjaga kelangsungan jiwa dan tubuh. Di sini, Anaximenes mengemukakan persamaan antara tubuh manusiawi dengan jagat raya berdasarkan kesatuan prinsip dasar yang sama, yakni udara. Tema tubuh sebagai mikrokosmos (jagat raya kecil) yang mencerminkan jagat raya sebagai makrokosmos adalah tema yang akan sering dibicarakan di dalam Filsafat Yunani.[6]

BAB II
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat mengalami masa pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan otoritas Gereja dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu. Peristiwa munculnya filsafat di Yunani terbilang peristiwa unik dan ajaib. Dalam banyak literatur filsafat mutakhir, klasifikasi tahap sejarah filsafat Barat dibagi menjadi empat tahap penting, yaitu Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer. Di era filsafat klasik, pemikiran filsafat dibagi menjadi dua zaman yakni: pra-socrates dan zaman keemasan.
Oleh kaena itu pentingnya filsafat dalam kehidupan manusia bertujuan untuk mengembalikan nilai luhur suatu ilmu agar tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri.

.

Makalah










Disusun Oleh :
1.      INDRA KURNIAWAN                               26.10.3.4.025
2.      INDRA LUSIANA                                       26.10.3.4.026
3.      IWAN KAMALUDIN                                  26.10.3.4.027
4.      JUNI PRAVITA SARI                                26.10.3.4.028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH NON REGULER
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
2010





[2] (http://thebiografis.wordpress.com/2010/08/02/thales-624-546-sm/)
[3] (http://kuliahfilsafat.blogspot.com/2009/04/sejarah-filsafat-klasik-filsafat-yunani.html)
[4] (http://thebiografis.wordpress.com/2010/08/02/anaximandros-610-%E2%80%93-547/)

[6] (http://thebiografis.wordpress.com/2010/08/02/anaximenes--545-sm)

MAKALAH Filsafat Ibnu Khaldun

BAB I
PENDAHULUAN

Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan. Filsafat Pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia. Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut dunia, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.












BAB II
PEMBAHASAN

A.  BIOGRAFI SINGKAT IBNU KHALDUN
Sebuah ciri khas yang melatarbelakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal dari keluarga politis, intelektual, dan aristokrat. Suatu latar belakang kehidupan yang jarang dijumpai orang. Keluarganya, sebelum menyeberang ke Afrika, adalah para pemimpin politik di Moorish, Spanyol, selama beberapa abad.[1] Dalam keluarga elit semacam inilah ia dilahirkan pada tanggal 27 Mei 1332 M di Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd ibn Muhammad ibn Khaldun. Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya nampaknya merupakan faktor yang menentukan perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual kedalam dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunya dinasti – dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah memberikan kerangka berfikir dan teori – teori ilmu sosial serta filsafatnya. Bisa dikatakan Ibnu Khaldun  adalah seorang yang nomaden karena sering kali berpindah – pindah tempat, mulai dari Afrika, Granada, Aljazair, Maroko,Tunisia, dan yang terakhir adalah Mesir. Bukan tanpa alasan Ibnu Khaldun ber nomaden, itu disebabkan karena banyak konflik ketika dia menjabat sebagai tokoh – tokoh penting disetiap negara itu. Ketenangan hidup baru ia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah ia menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqaddama Al Alamat dan Sejarah Alam Semesta setelah ia kembali dari Tunisia. Ketika di Mesir, Ibnu Khaldun ditawari jabatan guru dan ketua Mahkamah Agung oleh raja Mesir. Meskipun selanjutnya mendapatkan masalah – masalah seperti sebelum – sebelumnya. Yang pada akhirnya Ibnu Khaldun mampu mengatasinya dan terus menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung di Mesir.[2]
Ibnu Khaldun meninggal pada tahun  1406 M dalam usia 74 tahun bersama jabatan yang dipegannya.[3] Kini Ibnu Khaldun selain dikenal sebagai filosof, juga sebagai sosiolog yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Hal ini antara lain terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang berpindah – pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

B.  PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN.
a.         Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
            Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.[4] Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa: Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya. [5]
Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.[6] Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Selain itu Ibnu Khaldun juda memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk lainny. Manusia kata Ibnu Khaldun adalah makhluk berfikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan tekhnologi.[7] Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri.
Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia. Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1.         Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur'n dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2.         Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3.         Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4.         Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang  umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5.         Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6.         Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang  akan dicapai dalam pemnbahasan terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur'an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur'an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur'an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membaertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur'an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur'an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur'an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur'an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur'an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur'an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur'an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur'an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1.         Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari'at yang diambil dari al-Qur'an dan Hadits. Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta'bir mimpi.
2.         Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu Ilmu logika, Ilmu fisika, Ilmu metafisika dan Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik  menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya.  Empat macam pembagian itu adalah:
·         Ilmu agama (syari'at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
·         Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika).
·         Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari'at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
·         Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari'at (agama) dan ilmu Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
3.         Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya. Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik. Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci. Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar. Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif.
Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham erhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, aka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.























BAB III
KESIMPULAN

            Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian. Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran - pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
            Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat.
            Sementara itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan. Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahankemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.














DAFTAR PUSTAKA

Ø Abuddin Nata, Drs. H, Filsafat Penddikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997.
Ø Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Ø Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 2000.
Ø Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 2005.
Ø Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990 - 1942, Jakarta: LP3ES cet-3, 1985.





























 

                                                                                     

 













Tugas ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas akhir Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Abu Choir, MA

Disusun Oleh :
1.      Indra Kurniawan                                 26.10.3.4.025
2.      Sri Rahayu                                           26.10.3.4.025
3.      Vitara Aprilia                                       26.10.3.4.025
4.      Irawati                                                  113.112.009
5.      Prapti                                                     113.112.009





FAKULTAS TARBIYAH DAN BAHASA
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
 2012



[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990 - 1942, Jakarta: LP3ES, cet-3, 1985, hal.85  
[2] Drs. H Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hal.171-173
[3] Alfian, Islamic Modernism in Indonesia Politics; the Muhammadiyah Movement the Dutch Colonial Period 1912 – 1942. Hal 229
[4] Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 2000. hal 32-33
[5] Ibit hal 39
[6] A. Mukti,dkk Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 2005.hal.64
[7] Drs. H. Abuddin Nata, Filsafat Penddikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1997 hal.174