Udara hangat dan berat, dengan kelembaban tipikal hutan hujan Borneo, saat
kelotok, kapal tradisional, kami menyusuri sungai yang airnya berwarna sangat
hitam. Karena hitamnya, hingga bisa disamakan dengan tinta. Panggilan parau
dari sepasang burung enggang dapat terdengar, mengalahkan suara mesin, saat
mereka terbang di atas kepala dengan perhiasan paruh mereka yang besar dan
mencolok.
Saya mengamati sekitar hutan rawa purba untuk mencari tanda-tanda kehidupan.
Tiba-tiba Thomas memekik, "Di sana, di sekitar palem Nipa. Seekor
orangutan jantan dewasa!" Saya melihat ke atas untuk melihat seekor monyet
merah raksasa, dengan santai memetik daun-daun segar di dekat pucuk pohon palem
di sisi sungai. Dia melihat kami sebelum kembali masuk ke dalam hutan dengan
pelan.
Ini adalah orangutan pertama dari banyak orangutan liar yang akan kami temui
dalam beberapa hari ke depan. Saya berada di Taman Nasional Tanjung Puting di
Kalimantan Selatan, di pulau Borneo. Dengan luas 400.000 hektar (988.000 are),
Tanjung Puting adalah wilayah terluas yang dilindungi untuk daerah pesisir
tropis dan hutan rawa gemuk di Asia Tenggara. Daerah ini juga menjadi salah
satu daerah habitat terbesar yang masih ada untuk orangutan yang mulai
terancam, populasi yang semakin menurun dalam beberapa tahun akibat perusakan
habitat dan perburuan liar. Orangutan telah menjadi fokus dari upaya yang lebih
luas untuk menyelamatkan lingkungan hidup yang alami.
Kami menuju ke Camp Leakey, dinamakan sesuai dengan paleontologis terkenal
Kenya Louis Leakey. Di sinilah terdapat pusat Proyek Konservasi Penelitian
Orangutan. Didirikan oleh Birute Mary Gladikas, seorang primatologis besar dan
pendiri Orangutan Foundation International (OFI), yang proyeknya berusaha untuk
mendukung konservasi serta pemahaman orangutan serta habitat hutan hujan,
sambil merehabilitasi orangutan yang pernah tertangkap. Proyek Konservasi
Penelitian Orangutan adalah tampilan publik dari konservasi orangutan di
Kalimantan bagian ini, bagian Borneo di bawah pemerintahan Indonesia.
Borneo, pulau ketiga terbesar di dunia, dulunya adalah rumah bagi beberapa
hutan dunia yang megah, dan menakutkan. Dengan daerah pesisir berawa yang
dibatasi oleh hutan bakau dan daerah yang bergunung-gunung, kebanyakan dari
daerahnya bahkan tak bisa dilewati dan belum dieksplorasi. Dulu, hingga satu
abad lalu, daerah terpencil ini dikuasai oleh para dukun dari suku pedalaman.
Di tahun 1980an dan 1990an, Borneo mengalami transisi yang luar biasa.
Hutan-hutannya diratakan pada tingkat yang belum pernah terjadi dalam sejarah
manusia. Hutan hujannya berpindah ke negara-negara industri seperti Jepang dan
Amerika Serikat dalam bentuk furnitur taman, kertas, dan sumpit. Awalnya,
kebanyakan kayu diambil dari pulau yang merupakan bagian Malaysia, di daerah
utara Sabah dan Sarawak. Namun kemudian, hutan di bagian selatan Borneo, daerah
yang merupakan wilayah Indonesia dan dikenal dengan nama Kalimantan, menjadi
sumber utama untuk kayu tropis.
Saat ini, hutan di Borneo hanyalah merupakan bayang-bayang dari legenda
tersebut. Hanya kurang dari separuh hutan hujan asli milik pulau tersebut yang
masih tersisa, dan pembangunan sangat mengancam apa yang masih ada. Dengan
banyaknya kandungan emas dan mineral, sumber kayu, potensi hidroelektrik, dan
rendahnya kepadatan populasi di daerah yang semakin padat, pulau ini tampak
sebagai kunci dari masa depan ekonomi Indonesia.
Wilayah sekitar Tanjung Puting, dekat kota Pangkalan Bun, merupakan contoh
yang baik apa yang bisa terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang tidak
diatur. Wilayah ini dulunya pernah menjadi produsen rotan, tanaman rambat yang
digunakan seperti kayu, dan kayu - termasuk kayu besi, meranti, sandalwood, dan
ramin - namun ini tak lagi menjadi industri yang berprospek akibat gundulnya
hutan. Saat ini kebanyakan dari daerah pedalaman adalah savana dan lahan tanah
gemuk kering yang telah dihanguskan oleh kebakaran periodik seperti yang telah
membakar hampir 20.000 mil persegi si Borneo tahun 1982-1983 dan 4.000 mil
persegi lagi di tahun 1997-1998. Walau ada beberapa pekerjaan di luar
perkebunan kelapa sawit, para migran dari Jawa terus saja datang dengan perahu
setiap minggunya. Beberapa migran bekerja di sektor informal pertambangan, yang
akhir-akhir ini bergeser dari menggali emas - kandungan yang saat ini telah
hampir habis - menjadi mencari pasir silica yang digunakan untuk keperluan
industri di pabrik-pabrik Cina.
Menurut Galdikas, pertambangan telah membawa dampak yang sangat terlihat
pada lingkungan hidup sekitarnya. Sungai Sekonyer yang biasanya berwarna hitam,
saat ini berwarna coklat seperti cafe-au-lait dengan banyaknya jumlah sedimen
yang terbawa arus dari pertambangan. Gladikas menjelaskan ada kemungkinan bahwa
meningkatnya serangan buaya di beberapa tahun terakhir ini - yang juga menimpa
turis Inggris di tahun 2002 - bisa dihubungkan dengan berkurangnya visibilitas
di dalam sungai. Ia juga prihatin dengan tingginya tingkat merkuri di sungai,
sementara kandungan tersebut dianggap merupakan penyebab menurunnya kapasitas
mental di bayi yang baru lahir, dan nafkah para nelayan di sekitar kota pinggir
sungai Kumai ini tergantung pada ikan lokal sebagai makanan.
Terakhir, para penambang tak lagi menunjukkan keramahan pada turis yang
mereka pikir akan mengancam kehidupan mereka dengan keberadaannya. Thomas,
pemandu saya yang lahir di pulau Flores di Indonesia namun saat ini telah
berada menetap di sini, menceritakan bahwa ia pernah berkonfrontasi dengan para
penambang yang marah pada turis karena mengambil foto di daerah penambangan, takut
akan kesan negatif yang keluar dapat menyebabkan pemerintah mengambil tindakan
keras.
Daya tarik penambangan semakin tampak jelas saat kami beranjak ke hulu.
Speedboat melewati kami, mengangkut para penduduk dan penambang dari dan ke
daerah penambangan dan desa-desa mereka. Thomas percaya bahwa meningkatnya
populasi para penambang dan kedekatan mereka dengan taman-taman nasional adalah
suatu keprihatinan.
"Saya kira sebanyak 50 orang pergi ke sana dalam seminggu. Mereka
merusak tanah dan air tapi tetap saja pemerintah daerah mengeluarkan ijin,
menginginkan hasil pajak namun tidak peduli mengenai kerusakannya,"
ucapnya. "Jakarta tidak menyediakan dana yang cukup, jadi pemerintah lokal
harus mencari cara untuk mendapatkan uang. Mereka menginginkan uang bahkan jika
itu berarti rusaknya hutan dan polusi air."
Walau penambangan saat ini terus berlangsung di daerah hutan yang telah
gundul, masuknya para pekerja tambang menyebabkan digunakannya hutan sebagai
bahan bangunan, bahan bakar, dan lahan pertanian.
Paling tidak sampai saat ini monyet ubiquitous proboscis, primata dengan
wajah lucu berciri-ciri hidung yang besar, tampaknya tidak terganggu dengan
speedboat yang berlalu-lalang. Thomas mengatakan bahwa mereka sebenarnya telah
mengubah tingkah laku mereka untuk mengambil keuntungan dari kecenderungan
buaya menghindari kendaraan cepat ini. Agar terjaga dari serangan buaya saat
mereka menyeberang sungai, para monyet ini biasanya berenang tepat ketika
sebuah speedboat baru berlalu. Bila tak ada speedboat yang dapat dimanfaatkan,
mereka akan menerapkan strategi 'guniea pig' yang lebih beresiko, yaitu
mengirim seekor perenang tunggal sebagai umpan. Bila si perenang ini berhasil
sampai di seberang dengan aman, seluruh kelompoknya akan menyusul.
Monyet proboscis ini hanyalah satu dari sembilan spesies primata yang
ditemukan di Tanjung Puting. Keseluruhannya, kekayaan spesies Borneo ini
terdokumentasi dengan baik, dan masih banyak lagi spesies yang belum dikenal
oleh ilmu. Pulau ini membawa pengaruh penting bagi Alfred Wallace, seorang
naturalis yang memikirkan teori seleksi alam secara independen dan bersama-sama
dengan Charles Darwin. Para peneliti sampai saat ini masih saja menemukan
spesies yang baru bagi keilmuan. World Wildlife Fund, sebuah organisasi konservasi
yang cukup aktif di Borneo, melaporkan bahwa para peneliti menemukan 361
spesies hewan dan 441 spesies tumbuhan antara tahun 1994 dan 2004.
Tahun kemarin, komunitas ilmuwan cukup terpana ketika sebuah perangkap
kamera remote berhasil menangkap 2 foto seekor hewan yang tidak dikenal mirip
rubah. Spesies ini rupanya sangat jarang hingga bahkan para pemburu lokal pun
gagal mengenalinya. Sementara itu, kekayaan tumbuhan pulau ini menjadi rumah
bagi spesies dengan khasiat yang fantastis, termasuk sebuah pohon yang
menghasilkan sebuah obat - Calanolide A - yang sedang dalam percobaan FDA
sebagai anti-HIV. Ironisnya, tumbuhan dengan potensi penyelamat nyawa ini
hampir punah akibat penggundulan hutan sebelum ditemukan.
Penemuan yang berurut-urutan dengan ancaman pembangunan yang akan datang ini
telah menjadikan Borneo sebagai fokus terbaru dari upaya konservasi. Dengan
orangutan yang karismatik sebagai spesies utama untuk mendapatkan area yang
dilindungi, organisasi tersebut menekan pemerintah Indonesia untuk mengurangi
penebangan dan membatalkan proyek pertanian yang luas dan lebih efektif dalam
mengatur taman nasional. Saat ini, kebanyakan fokus ada pada apa yang dikenal
dengan "Jantung Borneo" di bagian tengah pulau, namun pekerjaan
konservasi yang sedang berlangsung di Tanjung Puting juga memiliki kepentingan
mendesak.
Menjadi sepenggal hutan di kawasan hutan gundul, Tanjung Puting menjadi
tempat mengungsi bagi primata-primata yang telah jarang serta jenis-jenis lain
tumbuhan dan hewan yang tak terkira banyaknya. Yang paling terkenal adalah
orangutan, seekor monyet yang dulunya tersebar di seluruh Asia Tenggara namun
saat ini hanya terbatas pada sisa populasi yang ada di Sumatera dan Borneo,
akibat hilangnya habitat dan perburuan oleh manusia. Orangutan memiliki 97
persen materi genetik kita dan telah dikenal kecerdasannya, yang di beberapa
tes dapat disamakan dengan anak manusia berusia 2 tahun.
Di Indonesia, orangutan saat ini terancam dengan perusakan hutan, pemburu
yang membutuhkan dagingnya, dan pemburu liar untuk perdagangan hewan ilegal.
WWF memperkirakan bahwa sekitar 250 hingga 1.000 orangutan liar ditangkap dan
dijual di pasar gelap setiap tahunnya. Dengan total populasi kurang dari 30.000
ekor dan reproduksi yang lambat (orangutan betina jarang melahirkan lebih dari
3 ekor anak selama hidupnya), berkurangnya orangutan tadi mempunyai dampak yang
signifikan terhadap keberagaman populasi dan genetis dari spesies tersebut.
Beberapa peneliti bahkan takut berkurangnya populasi ini dapat mengurangi
kelangsungan hidup genetis dari spesies tersebut dan berujung pada kepunahan.
Gladikas saat ini sedang berusaha membendung resiko tadi dengan mempelajari
kebiasaan dari orangutan dan mengenalkan kembali orangutan yang pernah
ditangkap ke hutan hujan asli mereka. Programnya adalah yang terbesar dari
sejenisnya di dunia dan telah mengenalkan kembali lebih dari 150 orangutan ke
hutan di Tanjung Puting. Programnya akan berhasil dengan merehabilitasi
orangutan yang ditemukan saat razia atau yang diserahkan kembali secara
sukarela pada pihak yang berwenang, biasanya saat orangutan telah jatuh sakit
atau tumbuh lebih dari kemampuan pemiliknya untuk memelihara hewan tersebut.
(Walau bayi orangutan bisa saja menggemaskan, orangutan yang telah tumbuh dan
dewasa adalah hewan yang kuat dan pintar yang mampu berbuat nakal atau bahkan
lebih parah.) Saat ini kebanyakan yatim piatu berasal dari perkebunan kelapa
sawit. Dengan penggundulan hutan, ibu orangutan yang kelaparan pergi ke
perkebunan untuk mencari makanan. Saat tertangkap, mereka dibunuh dan bayinya
ditahan untuk dijual ke pasar gelap atau dikembalikan ke yang berwenang, yang
akan membawanya ke Pusat Perawatan.
Orangutan yatim piatu dibawa ke Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan
Orangutan di kota Pasir Panjung. Dengan 3 dokter hewan selaku staff tetap,
ditambah asisten lokal dan sukarelawan yang membawa mereka ke hutan untuk
berlatih serta dilengkapi dengan suplai dan peralatan medis, membuat staf-staf
di tempat ini bisa menyediakan tingkat perawatan yang sangat baik untuk
orangutan, termasuk melakukan operasi maupun perawantan karena penyakit. Namun
di balik rehabilitasi fisik, banyak orangutan muda - terutama yang yatim piatu
- membutuhkan adaptasi psikologi dan sosial hingga mereka pada akhirnya bisa
kembali ke alam bebas dan hidup seperti orangutan pada umumnya.
Karenanya Fasilitas Karantina dan Pusat Perawatan Orangutan memiliki 'hutan
tempat berlatih' dimana anak-anak orangutan tadi bisa mengembangkan kemampuan
aboreal dan mendapat kesempatan untuk bertemu dengan pengganti ibunya yang
kerap kali membesarkan mereka seperti anaknya sendiri. Idealnya, para yatim piatu
ini akan dikenalkan kembali pada alam liar saat berumur 6-8 tahun.
Biasanya, saat seekor orangutan siap untuk dikenalkan kembali, ia dibawa ke
sebuah hutan terpencil di dalam Tanjung Puting. Orangutan tersebut dilepas,
namun pisang, rambutan, dan susu akan disediakan di sebuah platform tempat
makan, dua kali sehari. Awalnya seekor orangutan yang baru dilepas akan sangat
tergantung pada pemberian ini, namun seiring dengan waktu, ia akan menjadi
semakin independen. Saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa
platform ini saat jam pemberian makan, termasuk satu yang berada di Camp
Leakey. Karena saat itu telah lewat musim buah, sejumlah orangutan mulai dari
ibu dengan bayi hingga jantan raksasa, muncul, turun dari kanopi dan mengambil
makan dari platform kayu.
Pemberian makan ini tak hanya sekedar menyediakan makanan bagi orangutan,
tapi juga merupakan cara penting untuk menggapai dan memberikan pengetahuan
pada warga lokal, membangun ketertarikan dan apresiasi pada kehidupan alam liar
dan ekosistem hutan hujan pada anak-anak dan ornag dewasa. Saat musim puncak,
mungkin lebih dari 200 orang berkunjung pada Minggu, membayar sekitar 50 sen
per orang untuk melihat orangutan diberi makan. Mereka juga didorong untuk
mengunjungi pertunjukan pendidikan, yang menjelaskan tentang ekologi hutan
hujan dan kepentingan lingkungan hidup.
Walau program Gladikas telah sukses memperkenalkan kembali 200 orangutan
atau lebih, mendukung perlindungan taman, menyediakan alternatif ekonomi bagi
warga sekitar, dan mendidik anak-anak sekitar mengenai hutan hujan,
pekerjaannya tidaklah mudah. Selama perjalanan, wanita yang kerap dipanggil
profesor oleh pengunjung dan staf yang tak bisa menyebutkan namanya dengan
benar ini, telah menghadapi perang yang cukup keras mulai dari organisasi
konservasi lawan yang mencoba menjatuhkan pekerjaannya guna menjilat petugas
pemerintah Indonesia hingga penambang liar dan pengembang kelapa sawit yang
mengancam hidupnya.
Menurut Gladikas keadaan memang sulit setelah jatuhnya mantan diktator Suharto,
yang menggunakan taktik orang terkuat untuk memerintah negara selama 30 tahun.
Tidak adanya perangkat hukum, kerusuhan terjadi, dan taman dimasuki oleh
penambang liar yang mengambil banyak ramin, kayu keras berwarna putih digunakan
untuk furnitur dan kerai jendela, dari dalam hutan. Siang dan malam, rakit
dengan balok-balok kayu mengalir bersama sungai bersamaan dengan ditebangnya
ramin yang bisa diakses. Gladikas memperkirakan sekitar 120 juta USD ramin
dipindahkan dari taman setiap tahunnya pada masa itu. Thomas mengingatnya
dengan baik.
"Empat hingga lima tahun yang lalu Anda dapat melihat rakit besar
dengan balok kayu mengalir ke bawah setiap jam dalam sehari, bahkan di tengah
malam," ucapnya, saat kami mengagumi beberapa tumbuhan raksasa di permukaan
tanah. "Sangat mudah untuk memotong pohon. Dengan gergaji mesin dibutuhkan
10 hingga 15 menit dan pohon-pohon besar tumbang. Butuh 70-80 tahun bagi pohon
itu untuk tumbuh kembali. Dan itu sangat lambat."
Namun Thomas berkata bahwa keadaan mulai berubah. "Tahun kemarin,
pemerintah sangat ketat dalam mengendalikan penebangan hutan ilegal dan itu
sepertinya mulai bekerja. Dengan patroli lokan dan proyek OFI, saya pikir
penambangan ilegal mulai jarang saat ini," jelasnya.
Walau begitu, efek dari penambangan ilegal terhadap taman cukup signifikan.
Survey sistem informasi geografi tahun 2004 menemukan bahwa 40 persen dari
taman telah kehilangan vegetasinya. Pelanggaran pertanian - terutama pertanian
beras dan peternakan udang, pertambangan (emas dan silica), dan perkebunan
kelapa sawit yang didirikan mengikuti penebangan - memiliki kontribusi terbesar
pada penggundulan hutan.
Tetap, Gladikas berdiri pada tempatnya, mencari dukungan dari organisasi
bantuan internasional, sumbangan Orangutan Foundation International dan, yang
paling penting, warga sekitar.
Saat masa transisi, Gladikas dan organisasinya OFI mengambil alih manajemen
taman tersebut. Dengan dana dari USAID, ia menaruh peringatan "dilarang
menebang" di sepanjang sungai dan mendirikan pos-pos penjaga di hutan,
saat ini OFI mempekerjakan sekitar 200 orang lokal dalam upaya rehabilitasi dan
perlindungan. Penjaga lokal saat ini berpatroli di sungai dan hutan untuk
melaporkan penebangan ilegal dan pembukaan hutan. Para penduduk desa
menjalankan proyek reboisasi dengan target untuk mengembalikan pohon-pohon di
daerah yang gundul di dalam taman tersebut.
Walau begitu, tetap taman ini terancam oleh pelanggaran dan proposal dari
pemerintah lokal untuk mengubah sebagian dari taman menjadi perkebunan kelapa
sawit. Terpisah dari korupsi kronis, dimana setiap kepala desa bisa dibeli
dengan sebuah motor seharga 1.000 USD, pemerintah memang menginginkan pajaknya.
Kelapa sawit memang menyediakan pendapatan pajak terbesar bagi pemerintah (dan
petugasnya) yang kekurangan uang.
Contohnya saja, ada tekanan yang sangat intens untuk mengubah hutan hujan
tadi menjadi perkebunan kelapa sawit. Gladikas prihatin dengan rencana untuk
membuat jalur baru bagi sungai utama agar mengalir ke timur dan bukan ke barat,
mengeringkan hutan rawa yang ada dan secara efektif membuat lahan untuk
pengembangan kelapa sawit.
Saat ini, minyak kelapa adalah industri terpanas di bagian selatan Borneo.
Tingginya harga minyak membuat kelapa sawit menjadi terkenal, mendorong
harganya hingga 400 USD per ton kubik atau sekitar 54 USD per barrel. Ini
membawa pada pembukaan ribuan mil persegi hutan dalam beberapa tahun yang lalu.
Di bagian Borneo yang ini, hutan rawa biasanya diubah setelah ditebang
kayu-kayu berharganya. Kanal air pun dibangun dan hutan dikeringkan.
Pohon-pohon yang tersisa dihancurkan dengan teknik tebang-dan-bakar, dan lahan
kemudian ditanami dengan bibit kelapa sawit. Dalam jangka waktu beberapa tahun,
kelapa sawit bisa dipanen dan diroses untuk minyak kelapa yang menghasilkan
lebih banyak minyak per unit wilayah dibandingkan dengan bibit minyak lainnya.
Satu hektar kelapa sawit bisa menghasilkan 5.000 kg minyak mentah, atau hampir
6.000 liter minyak mentah. Sebagai pembanding, kedelai dan jagung - hasil yang
kerap digembar-gemborkan sebagai sumber bahan bakan biologis yang unggul -
hanya menghasilkan sekitar 446 dan 172 liter per hektar.
Dibalik konversi hutan, dampak kelapa sawit terhadap lingkungan cukup
signifikan. Kelapa sawit telah dipercaya dapat menghabiskan nutrisi yang
dimiliki tanah, sementara pabrik pembuatan minyak kelapa melepaskan limbah yang
merusak dari minyak kelapa, campuran polusi dari batok yang hancur, air, dan
residu lemak, ke dalam aliran air di sekitarnya. Lebih jauh lagi, penggunaan
pestisida, herbisida, dan pupuk berbasis petroleum secara bebas membuat yakin
bahwa kebanyakan pengolahan minyak kelapa tak hanya menyebabkan polusi pada
tingkat lokal, namun juga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca. Perkebunan
di Indonesia sangat merusak karenanya setelah 25 tahun masa panen, lahan kelapa
sawit kebanyakan ditinggalkan dan menjadi semak belukar. Tanah mungkin akan
kehabisan nutrisi, terutama pada lingkungan yang mengandung asam, sehingga
beberapa tanaman mungkin tumbuh, menjadikan wilayah tersebut tanpa vegetasi
selain rumput-rumput liar yang akan mudah sekali terbakar.
"Kelapa sawit adalah tanaman yang sangat buruk untuk orang Indonesia
dan lingkungannya," kata Thomas saat kami berjalan menyeberangi wilayah
yang hutan gundul yang panas. "Semua kelapa sawit hanya baik untuk pajak
pemerintah dan korupsi."
Perkebunan kelapa sawit juga mengancam para orangutan yang mendatangi lahan
kelapa sawit dan ditembak. Menurut Gladikas, perkebunan yang membatasi wilayah
hutan menjadi perhatian tersendiri karena keberadaannya menggoda orangutan,
yang biasanya ditembak jika terlihat dan kemudian dimakan oleh para pekerja
perkebunan. Tekanan untuk pengembangan kelapa sawit sangat intens sepanjang
batas utara dan barat taman tersebut.
Walau ada ancaman-ancaman ini, Gladikas optimis secara hati-hati pada masa
depan. Ia berharap meningkatnya bayaran - saat ini 5 USD per hari per orang -
yang dibayar oleh turis untuk mengunjungi taman dapat menghasilkan lebih banyak
pemasukan dan mendorong pemerintah lokal untuk melihat kemungkinan di ekoturisme.
"Perhatian utama pemerintah lokal adalah pemasukan," ucap
Gladikas, saat seekor orangutan betina dewasa mendekatinya di beranda rumah
hutannya. "Jika mereka bisa mendapatkan uang dari melindungi Tanjung
Puting untuk turis maka kemungkinan mereka akan melakukannya. Namun saat ini
kelapa sawit memberikan pajak terbaik."
Lebih lagi, proyek lain yang diluncurkan oleh Gladikas dan OFI mungkin dapat
merebut hati para petugas.
"Kami telah melakukan banyak hal untuk menunjukkan pemerintah lokal
bahwa proyek kami memiliki keuntungan positif untuk warga sekitar. Sebagai
contohnya, keberagaman panen kami di dekat Kumai menghindarkan malapetaka bagi
sebagian keluarga yang mungkin saja tidak dapat memberi makan diri mereka
sendiri setelah kegagalan panen padi," tambahnya. "Dan seluruh murid
sekolah suka datang kemari untuk melihat orangutan. Di hari libur, kami
biasanya kebanjiran pengunjung."
Demi kepentingan orangutan Borneo, mari berharap dia memang benar.